Kamis, 20 Oktober 2011

makalah HIV ibu menyusui

PENDAHULUAN

Air Susu Ibu (ASI) adalah makanan terbaik untuk bayi, dan ASI juga dapat menurunkan resiko kesakitan pada anak-anak, terutama sakit pada saluran pencernaan dan infeksi saluran nafas. ASI juga dapat meningkatkan kualitas hidup pada anak dan juga kesehatan ibu melalui jarak kehamilan.  Pada tahun 2001, Persatuan Kesehatan Dunia (the World Health Assembly) mengeluarkan rekomendasi bahwa bayi harus diberikan ASI secara eksklusif selama 6 bulan pertama dalam kehidupannya untuk mendapatkan tingkat pertumbuhan, perkembangan serta kesehatan yang optimal. Setelah itu, bayi juga harus mendapatkan makanan pendamping yang bergizi dan juga aman selain ASI yang diberikan sampai usia 24 bulan (WHO, 2007)
Sejak awal pandemik HIV sampai 2006, 2.3 juta anak-anak di dunia berusia kurang dari 15 tahun hidup dengan HIV. Diperkirakan sekitar 530.000 anak-anak berusia kurang dari 15 tahun yang baru terinfeksi oleh HIV, hampir selalu disebabkan oleh transmisi dari ibu kepada anak [mother-to-child transmission (MTCT)]. Seperti yang dikemukakan sebelumnya bahwa ASI dapat memberikan dampak kesehatan yang baik bagi bayi dan anak, namun HIV dapat ditularkan dari ibu yang positif HIV kepada bayinya melalui proses menyusui. Di Afrika, HIV/AIDS merupakan penyebab penting terjadinya kematian pada anak-anak dibawah usia lima tahun. Penurunan transmisi ini (MTCT) merupakan salah satu perhatian para peneliti, tenaga kesehatan professional, pembuat kebijakan dan juga para wanita dengan HIV positif di banyak negara berkembang  (WHO, 2007).
Panduan dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menitikberatkan pada pentingnya menurunkan resiko transmisi HIV dari ibu ke bayinya, di lain pihak juga meminimalkan resiko kesakitan maupun kematian terhadap bayi dengan diberikannya makanan pengganti. Disebutkan bahwa “pemberian makanan pada bayi dari ibu dengan HIV positif adalah disesuaikan dengan keadaan individual ibu itu sendiri, termasuk didalamnya adalah keadaan kesehatan ibu tersebut, keadaan lingkungan dan juga ketersediaan pelayanan dan konseling kesehatan dan juga dukungan yang dibutuhkannya.  ASI eksklusif direkomendasikan bagi ibu dengan HIV positif selama 6 bulan pertama kecuali jika tersedia makanan pengganti yang dapat diterima (acceptable), tersedia (feasible), terjangkau (affordable), terpelihara (sustainable) dan aman (safe). Bila makanan pengganti dapat memenuhi 5 kriteria tersebut maka pemberian ASI tidak direkomendasikan (WHO, 2009).

A      Transmisi virus HIV dari Ibu ke Anak

Infeksi HIV pada perempuan sudah terjadi sejak lama. Hubungan seksual yang bebas masih merupakan modus utama terjadinya penularan HIV. Prevalensi infeksi HIV bervariasi pada tiap daerah. Pada anak – anak di daerah SubSahara, 9 dari 10 anak diketemukan terinfeksi HIV. Di Asia seperti Kamboja, India, Indonesia dan Thailand angka kejadian ibu hamil dengan HIV sekitar 1% - 5% . (UNAIDS, 2007). Penularan HIV juga meningkat pada wanita pasca melahirkan di Afrika Selatan (3 dari 100 wanita). Selain itu 85% dari perempuan masih menyusui di 15 bulan dan 30% pada 21 bulan dalam populasi, infeksi postpartum baru kemudian meningkatkan jumlah anak-anak terpajan HIV.
Tanpa pencegahan preventive, sekitar sepertiga dari bayi yg lahir dari ibu dengan HIV positive mengalami MCTC selama kehamilan, masa melahirkan dan proses menyusui. Pada ibu hamil, penularan dapat terjadi pada saat sebelum, selama atau setelah melahirkan akan tetapi transmisi di awal kehamilan lebih jarang terjadi (Rouzioux et al 1993). Tanpa intervensi khusus yang bertujuan untuk mengurangi risiko penularan, diperkirakan ada pada berbagai tingkatan MCTC yaitu dari 15% menjadi 25% di Eropa dan Amerika Serikat serta 25%-45% pada Negara berkembang. Pada tahun 2001, 800.000 anak – anak di bawah usia 15 tahun tertular HIV dan  sekitar 90 % tertular melalui MTCT. Sekitar 15 – 25 % anak – anak lahir sudah terinfeksi HIV, selama kehamilan dan proses kelahiran. Sedangkan 15 % lainnya mengalami penularan melalui proses penyusuan. Keseluruhan resiko MTCT dikaitkan dengan faktor virus, ibu dan bayi (Newell, 2001). Pada umumnya, peningkatan kejadian HIV yang didapat oleh anak –anak dikarenakan peningkatan maternal viral. Risiko penularan juga terjadi ketika seorang wanita tertular virus HIV selama kehamilan ataupun menyusui. 
Tabel 1. Perkiraan angka mutlak MTCT HIV dengan waktu transmisi, tanpa intervensi

Tingkat penularan HIV (%)

waktu penularan HIV      
Tidak Menyusui
Menyusui  6 bulan  
menyusui 18-24 bln

Selama kehamilan 
50 – 10
5 – 10
5 - 10
Selama persalinan
10 - 15
10 – 15
10 - 15
Selama menyusui            
0
5 – 10
15 - 20
Keseluruhan
15 - 25
20 – 35
30 - 45
            Pada tahun 2009  sekitar 400.000 anak – anak di bawah usia 15 tahun terinfeksi HIV, kebanyakan merupakan penularan dari ibu ke anak. Sekitar 90 % infeksi MTCT terjadi di Afrika dimana AIDS mulai menjadi masalah bagi anak untuk bertahan hidup. Pada Negara yang memiliki tingkat pendapatan tinggi MTCT dapat dieliminasi secara bertahap dengan pemberian konseling, terapi retroviral, persalinan aman dan ketersediaan pengganti ASI yang dapat dipersiapkan secara aman.
Strategi PBB untuk mencegah  penularan HIV dari ibu ke anak :
  1. pencegahan HIV kepada masyarakat umum terutama pada wanita dan anak-anak.
  2. pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan pada perempuan terinfeksi HIV
  3. pencegahan penularan HIV dari perempuan yang terinfeksi HIV dan bayi nya.
  4. penyediaan perawatan, pengobatan dan dukungan untuk ibu terinfeksi HIV, bayi dan keluarganya. Pedoman pelaksanaan pada skala nasional yang tersedia  sesuai dengan WHO/UNICEF, 2007.

B.       Transmisi HIV melalui Pemberian ASI

Transmisi HIV melalui ASI sudaah terdokumentasi sejak 1985. Laporan pertama, menyatakan bahwa terdapat transmisi HIV melalui penyusuan dari seorang ibu yang tertular virus HIV pascakelahiran dari transfuse darah maupun hubungan kelamin. (Ziegler et al. 1985; Hira et al. 1990; Van de Perre et al. 1991; Palasanthiran et al. 1993). Terdapat juga laporan yang menjelaskan risiko penularan HIV secara oral pada bayi melalui penyusuan oleh ibu susu.

C.      Patogenesis dan Mekanisme Transmisi ASI

Penting untuk menjelaskan perihal virus HIV pada ASI dan apakah keberadaan virus HIV pada ASI akan mempengaruhi terjadinya transmisi tersebut, bagaimanakah resistensi virus HIV pada ASI dan bagaimana cara virus tersebut menular pada bayi. HIV dideteksi di ASI terdapat pada sel bebas dan sel asosiasi kompartemen. Penelitian terakhir menggunakan DNA atau RNA polymerase chain reaction assays untuk mengevaluasi HIV pada ASI.
Pada penelitian awal di Kenya, RNA ASI dengan HIV dideteksi sebanyak     39 % dari 75 spesimen (Lewis et al. 1998). Pada penelitian ini level virus pada ASI sekitar 1 log lebih rendah daripada kadar ASI di plasma darah. meskipun beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa kompartemenisasi virus di ASI, ternyata menunjukkan bahwa kadar yang lebih tinggi di ASI daripada di plasma. Variasi viral pada darah dan ASI sangat jarang ditemukan, dengan mayoritas beberapa varian virus HIV di ASI tidak terdeteksi di darah. Penelitian ini menyatakan bahwa beberapa virus dalam ASI  bereolikasi secara independent, pada kompartemen (kelenjar mammae). Asal dari HIV di ASI masih belum jelas diketahui. Namun dapat dijelaskan bahwa baik sel bebas maupun sel yang terjangkit HIV pada ASI bertanggungjawab terhadap trasmisi ASI  (Koulinska et al. 2006).
Risiko attributable dari transmisi HIV melalui ASI sangat sulit dilakukan pengukuran karena kesulitan dalam membedakan transmisi intrapartum dari early transmisión (transmisi melalui proses menyusui). Risiko penularan HIV melalui penyusuan berkisar 15% ketika menyusui dilanjutkan ingá dua tahun atau lebih. Ketika ibu terpapar HIV pasca melahirkan, perkiraan penularan HIV melalui proses menyusui menjadi 29 %. Kebanyakan permulaan transmisi menyusui telah terjadi pada masa awal penyusuian meskipun penularan terus terjadi selama kegiatan menyusui berlangsung. Minggu pertama hingga 6 minggu setelah kelahiran merupakan saat yang berisiko tinggi untuk terjadinya transmisi HIV, meskipun proses transmisi belum diketahui dengan pasti, dan juga belum diketahui apakah colustrum lebih berpotensi menjadi sumber transmisi dibanding ASI pada umumnya. Sedangkan late postnatal transmisión dikatakan setelah bayi berumur 4 minggu atau lebih.
Salah satu faktor yang mempengaruhi risiko transmisi HIV dari ibu ke anak baik dilihat dari aspek ibu maupun anak terkait dengan kondisi status gizi dan pemberian makanan. Ibu dengan kondisi anemia dan ukuran lingkar lengan atas yang di bawah normal berpengaruh terhadap transmisi HIV postnatal. Pola pemberian makanan kepada bayi merupakan salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap transmisi HIV melalui ASI. Terdapat penelitian menyatakan bahwa ada hubungan antara pemberian ASI ekslusif selama 3 – 6 bulan dengan penurunan risiko transmisi HIV dibanding komposisi pemberian ASI dan formula.

D.      Keuntungan Menyusui ( Pada Ibu dengan HIV)
Sebuah studi prospektif, nested within a randomized trial, mengevaluasi keamanan dan efikasi dari penyapihan dini di Lusaka, Zambia.  Hasil studi ini menyebutkan bahwa  bayi non-EBF (Exclusive Breastfeeding) memiliki resiko lebih dari 2 kali lipat atas penularan dini HIV postnatal . Untuk itu program-program untuk mendukung EBF harus di galakkan umumnya pada daerah dengan sumberdaya yang terbatas. EBF adalah praktek pemberian makanan yang terjangkau (affordable), mudah didapat (feasible), dapat diterima oleh bayi (acceptable), aman (safe) dan selalu ada (sustainable) juga dapat menurunkan transmisi HIV sehingga merupakan suatu cara yang digunakan oleh wanita dengan HIV positif untuk melindungi anaknya (Kuhn et al, 2007).                                                                                               
  Sebuah studi intervensi di Zambabwe menyatakan pentingnya promosi ASI eksklusif untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke bayinya melalui proses menyusui.  Berdasarkan studi ini setiap pemberian intervensi berhubungan dengan penurunan 38% transmisi HIV postnatal . Ibu dengan HIV positif yang terpapar bahan-bahan promosi ASI 79% lebih rendah menginfeksi bayinya dibandingkan dengan ibu yang tidak mendapatkan promosi. Hasil ini juga sama bagi ibu-ibu yang tidak mengetahui status HIV mereka (Piwoz, 2007).

E. Morbiditas dan Mortalitas
Satu dari sekian banyak manfaat penting ASI adalah kemampuannya untuk melindungi anak dari infeksi seperti diare, pneumonia, neonatal sepsis dan acute otitis media. Dalam outbreak diare baru-baru ini di Botswana, tidak mendapatkan ASI merupakan faktor resiko paling signifikan terhadap terjadinya diare dan bahkan kematian pada anak-anak (Creek 2006 in WHO, 2007).                                              
 Beberapa studi telah dilakukan untuk menginvestigasi pengaruh ASI terhadap kesehatan bayi dari ibu dengan HIV positif.   Sebuah studi kohort di Uganda menemukan bahwa pemberian susu formula berhubungan dengan meningkatnya resiko kematian bayi dibandingkan dengan pemberian ASI pada masyarakat pedesaan.  Selama 12 bulan studi ini dilakukan tingkat kematian bayi yang diberi susu formula adalah 18% (95% CI = 11%–29%) sedangkan pada bayi-bayi yang diberi ASI tingkat kematiannya adalah 3% (95% CI = 1%–9%).  Hasil ini merekomendasikan bahwa penggunaan susu formula harus dihindari pada setting populasi yang relatif sama  (Kagaayi, et al, 2008).                                                   
  Manfaat ASI untuk menurunkan tingkat kematian bayi dari ibu dengan HIV positif juga didapat dari sebuah analisa data longitudinal yang didapat dari dua studi randomized clinical trials di Republic of Malawi, Africa. Kesimpulan dari analisa ini adalah bahwa pemberian ASI dari wanita yang terinfeksi oleh HIV tidak berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas dari sang ibu, namun berhubungan erat dengan penurunan tingkat kematian dari bayi mereka (Taha et al, 2006).                                 
 Studi di Bostwana mengevaluasi efikasi dan keamanan proses menyusui dan ZDV prophylaxis pada bayi selama 6 bulan dibandingkan dengan pemberian susu formula sejak lahir dan satu bulan ZDV prophylaxis untuk mengurangi transmisi HIV postnatal.  Terdapat perbedaan yang signifikan terhadap tingkat kematian (terutama disebabkan oleh diare dan pneumonia) pada bayi yang memperoleh susu formula dibandingkan dengan bayi-bayi yang mendapat ASI selama 6 bulan pertama kehidupannya (9.3% versus 4.9%, p=0.003), namun perbedaan ini hanya pada usia dibawah tujuh bulan, sedangkan tingkat kematian diatas 18 bulan tidak berbeda secara signifikan (10.7% pada bayi dengan susu formula versus 8.5% pada bayi yang mendapat ASI , p=0.21) (Thior et al. 2006).   Namun pada umumnya masih terjadi perdebatan mengenai bagaimana efek pemberian ASI dan formula pada bayi dengan HIV. sebuah studi kohort di Coˆ te d’Ivoire dimana tingkat morbiditas antara bayi yang diberi susu formula dan ASI jangka pendek (short term) relatif sama.  Tingkat kematian juga tidak berbeda secara signfikan pada kedua grup ini, dan setelah dikoreksi dengan status HIV pun tidak terdapat perbedaan dengan bayi-bayi yang mendapatkan ASI jangka panjang (long term).  Hasil studi ini merekomendasikan perlunya memberikan penyuluhan gizi dan pengasuhan, akses air bersih dan penyediaan pengganti ASI, alternative-alternatif ini untuk memperpanjang proses menyusui dapat menjadi intervensi yang aman untuk mencegah penularan HIV dari ibu kepada bayinya di perkotaan Afrika (Becquet et al, 2007).
         F.  Pertumbuhan
Sebuah studi di Zambia diadakan untuk mengetahui pengaruh menyusui terhadap pertumbuhan pada bayi yang terpapar HIV dimana studi seperti ini memang masih jarang dilakukan.  Skor WAZ (Weight for Age Z score) menurun di antara bulan 4.5 dan 15.  Penurunan ini lebih lambat terjadi pada bayi yang mendapatkan ASI.  Pada 9, 12, dan 15 bulan, rata-rata skor WAZ adalah , –0.74, –0.92, and –1.06 pada bayi yang mendapatkan ASI sedangkan pada bayi yang sudah tidak mendapatkan ASI lagi rata-rata skor WAZ –1.07, –1.20, and –1.31 (P = 0.003, 0.007, dan 0.02). Pemberian ASI tidak berhubungan dengan LAZ (Length for Age Z score) yang menurun dari  –0.98 ke –2.24 dari 1 sampai 24 bulan. Setelah dikoreksi oleh berat lahir,  maternal viral load, indeks massa tubuh, pendidikan, musim dan status perkawinan dan sosio ekonomi, tidak mendapatkan ASI berhubungan dengan penurunan 0.28 skor WAZ antara 4.5 dan 15 bulan (P < 0.0001) (Arpadi, 2009). Hasil ini menunjukkan bahwa bayi dari ibu dengan HIV positif memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih baik (skor WAZ) bila mendapatkan ASI dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan ASI.  Namun sayangnya, belum dapat ditemukan studi-studi serupa sehingga hasil dari studi ini tidak dapat dibandingkan dengan studi lain.                                                                                                                   Pada ibu dengan HIV memberikan ASI adalah suatu dilemma. Pemberian ASI memberikan kemungkinan risiko penularan HIV sebanyak 15 % sedangkan emmilih memberikan susu formula dikhawatirkan akan meningkatkan kemungkinan terjadinya penyakit infeksi. Pada ibu – ibu di Negara berkembang dengan kondisi sanitasi yang buruk risiko penyakit infeksi akibat pemberian formula semakin bertambah. Pada ibu – ibu dengan HIV di negara tertentu dengan budaya yang mengharuskan menyusui pada bayinya, menghindari menyusui dan hanya memberikan formula dikhawatirkan akan memunculkan suatu pengisolasian dan pelecehan oleh masyarakat setempat akibat perilaku tersebut.

G. Strategi untuk Mengurangi Transmisi HIV melalui ASI

Faktor  yang mungkin dapat meminimalkan risiko transmisi HIV melalui ASI, yaitu :
  1. Mempersingkat durasi pemberian ASI
semakin lama waktu pemberian ASI, semakin tinggi risiko tertular HIV. Pemberian ASI selama 6 bulan memiliki risiko 1/3 dibandingkan masa penyusuan selama 2 tahun.
  1. ASI ekslusif di awal masa kelahiran
Beberapa penelitian epidemiologi menyatakan bahwa terdapat factor pada ASI terutama pada ASI dengan HIV yang secara langsung (otomatis) merespon melawan sel yang berperan dalam transmisi HIV . Penelitian di Durbam, Afrika Selatan menyatakan bahwa ASI ekslusif selama 3 bulan sejak awal kelahiran menurunkan risiko MTCT daripada kombinasi menyusui (ASI dikombinasi dengan makanan lain seperti jus dan air)
  1. Mencegah dan merawat payudara selama masa menyusui
Mastitis dan pembengkakan pada puting susu berhubungan dengan peningkatan risiko penularan HIV
  1. Mencegah infeksi HIV (baru) selama masa menyusui
maternal viral load meningkat segera, setelah ada infeksi terbaru dan semakin meningkatkan risiko transmisi HIV pada anak
  1. Perawatan awal pada rongga mulut bayi,Apabila terdapat luka pada sekitar mulut dan bibir anak, akan meningkatkan risiko transmisi HIV
Pada tahun 1997 UNAIDS, WHO, dan UNICEF mengeluarkan kebijakan tentang HIV dan pemberian makan bayi  “Sebagai prinsip dasar, di semua lapisan masyarakat, tanpa memandang tingkat infeksi HIV, pemberian ASI  harus selalu dipertahankan, dipromosikan dan didukung.” Salah satu rekomendasi  Konsesus Genewa pada Oktober 2006 adalah “Ibu terinfeksi HIV dianjurkan menyusui eksklusif selama 6 bulan kecuali jika pengganti ASI memenuhi AFASS sebelumnya, Bila pengganti ASI mencapai AFASS, dianjurkan untuk tidak memberikan ASI” yang mana hal ini menjadi Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dan ibu ke bayi (DEPKES RI 2006).
Apa itu AFASS?
A:ACCEPTABLE                  :mudah diterima
F : FEASIBLE                       :mudah dilakukan
A : AFFORDABLE               :terjangkau
S : SUSTAINABLE                : berkelanjutan
S : SAFE                                 : aman penggunaannya
            Mudah diterima berarti, tidak ada hambatan sosial budaya bagi ibu untuk memberikan susu formula pada bayinya. Mudah dilakukan Ibu dan keluarga, mereka mempunyai cukup waktu, pengetahuan, dan ketrampilan yang memadai untuk menyiapkan dan memberikan susu formula kepada bayi . Harganya terjangkau Ibu dan keluarga sehingga mereka mampu membeli susu formula. Susu formula harus diberikan setiap hari dan malam selama usia bayi dan diberikan dalam bentuk segar, serta suplai dan distribusi susu formula dijamin keberadaannya artinya keberadaan susu formula tersebut berkelanjutan. Juga tidak kalah penting Susu formula harus disimpan secara benar, higienis dan kadar nutrisi cukup, disuapkan dengan tangan dan peralatan bersih, serta tidak berdampak peningkatan penggunaan susu formula pada masyarakat (SPILL OVER) yang berarti Save atau Aman.  Susu formula dianjurkan diberikan pada bayi apabila ibu HIV positif mampu menyiapkan dan memberikannya dengan aman, yang mengandung gizi yang cukup dan higienis. Pemberiannya memerlukan cukup air bersih, sabun untuk membersihkan peralatan susu formula, pengetahuan tentang tata cara penyiapan dan pemberiannya, dan ketersediaan bahan bakar untuk memasak air. Karena kita tahu bahwa pemberian susu formula meningkatkan resiko kematian bayi karena diare sampai 16x lebih besar dari pada menyusui.

          Ibu dengan HIV positif dihadapkan pada dua pilihan sulit, menyusui belum mengerti tehnik menyusuinya sehingga ternjadi MTCT (Mother-to-Child Transmission), tidak menyusui dan tidak AFASS sehingga bayi menjadi kurang gizi, diare, atau pneumonia. Konseling pemberian makan bayi pada ibu HIV dapat membantu ibu HIV menentukan pilihan yang terbaik untuk bayinya.                              
Risiko infeksi HIV pada anak – anak dapat dibandingkan dengan risiko kematian dan kesakitan akibat infeksi karena diberi makanan non ASI yang tidak higienis. ASI melindungi dari penyakit pernafasan, diare serta memberikan asupan gizi yang penting bagi bayi. ASI juga bermanfaat bagi stimulasi perkembangan syaraf (motorik) dan psikososial pada bayi serta menyembuhkan trauma ibu akibat melahirkan.
WHO/UNAIDS/UNICEF memberikan petunjuk pemberian makan pada bayi, yaitu :
1.      Bagi wanita yang tidak terinfeksi atau belum diketahui apakah terinfeksi diutamakan perlindungan, promosi dan dukungan bagi pemberian ASI ekslusif. Pemberian ASI selama 6 bulan, diikuti oleh kombinasi pemberian ASI dan makanan secara bersamaan sampai 2 tahun atau lebih.
2.      Semua ibu yang terinfeksi HIV seharusnya mendapat konseling, yang meliputi pemberian informasi mengenai risiko dan keuntungan dari berbagai pilihan pemberian makanan pada bayi (ASI atau formula) yang sesuai dengan situasi. Dukungan kemudian diberikan kepada ibu yang telah menetapkan suatu cara tertentu dalam pemberian makan pada bayinya.
3.      Ketika syarat AFFAST (acceptable, feasible, affordable, sustainable and safe, belum terpenuhi maka dianjurkan pemberian ASI ekslusif khususnya pada satu bulan pertama.
4.      Ibu dengan HIV positive seharusnya diberi pengetahuan bahwa mereka telah melakukan teknik penyusuan yang benar untuk mencegah kondisi seperti mastitis, abses pada payudara
5.      Untuk meminimalisir risiko transmisi HIV, pemberian ASI seharusnya memperhatikan menurut keadaan, dan syarat AFFAS
6.      Ibu yang terinfeksi HIV seharusnya diberikan petunjuk yang spesifik dan didukung untuk mencegah hal – hal yang membahayakan kesehatan dan kondisi psikologis
7.      Ketika ibu dengan HIV memilih menyusui lalu berhenti, seharusnya sudah diberikan petunjuk mengenai perawatan bayi pada dua tahun pertama untuk menyakinkan kecukupan gizi pada bayi
8.      Wanita dengan HIV seharusnya mendapat akses informasi yang baik, follow up perwatan kesehatan dan dukungan kesehatan.
   UNICEF dan WHO memberikan pelatihan kepada lebih dari 100 konselor ASI dan HIV mengenai cara pemberian makan untuk bayi. Telah dilatih 1000 konselor untuk mendukung pemberian makan pada bayi. UNICEF mendukung negara – negara seperti : Botswana, Uganda, India, dan Guyana. Pada akhir 2001, sekitar 15.000 fasilitas kesehatan akan didirikan di seluruh dunia dan dideklarasikan sebagai ” Baby Friendly Hospital Initiative”. Di Afrika Selatan, penelitian dikhususkan untuk menemukan metode praktis untuk mempasteurisasi ASI (flash heating) dan kemungkinan penggunaan Bank ASI.

KESIMPULAN
1.      Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan yang dibutuhkan bayi.  Pada bayi dari ibu dengan HIV positif ASI juga memberikan dampak kesehatan yang signifikan kepada bayi seperti menurunkan tingkat kematian dan kesakitan, memperlambat penurunan berat badan (pertumbuhan) dan juga menurunkan tingkat transmisi HIV postnatal.  Namun masih adanya kemungkinan untuk terjadinya transmisi HIV dari ibu kepada bayinya, maka pemberian ASI pada bayi dari ibu dengan HIV positif hendaknya mengikuti saran dan aturan yang dianjurkan.
2.      WHO merekomendasikan pemberian ASI untuk bayi dari ibu HIV positif, pemberian susu formula hanya apabila ibu memenuhi kriteria AFASS (Acceptable, Feasible, Affordable, Sustainable, dan Safe), apabila satu syaratnya tidak terpenuhi, maka menyusui eksklusif solusinya.